Kamis, 13 Agustus 2015

Berkelana Menuju Pulau Siumat, Surga Bagi Perindu Kesunyian

Berkelana Menuju Pulau Siumat, Surga Bagi Perindu Kesunyian
Sabtu, satudigunakan oleh nelayan saat menangkap ikan, sampan serta menjadi sarana transportasi masyarakat pada Pulau Siumat.
Informasi Terkait
Kelapa Bakar, Menu Istimewa dari Aceh demi Berbuka Puasa
Kari Kambing Bilmin pada Banda Aceh, Menu Diharuskan Buka Puasa
Memanfaatkan Nuansa Kampung Aceh pada Desa Wisata Lubuk Sukon
Kisah Rencong, Senjata Legendaris Kesultanan Aceh
 Liburan di Pulau Lombok, dengan Wisata Lombok yang populer.
Pada Ulul Kaut, hal dermaga sampingan dalam Pulau Siumat, Kabuaten Simeulue, Aceh, saya mengukuti anak-anak yang bermain riang. Mereka berenang tanpa rasa takut. Kadang salto dari papan pelabuhan merekapun perbuat hanya demi sekedar bersenang-senang. Pulau ini sudah menjadi surga minor kepada segala pengelana penyendiri.

Terbang jauh dari Medan hanya butuh momen 45 menit menuju Bandara Lasikin dalam Simeulue. Pesawat kecil yang saya tumpangi cuma dipenuhi tapi 4 penumpang lain selain saya. Di kokpit, 2 orang pilot, salah satunya berkewarga negaraan Jepang, sibuk juga panel-panel dan beragam tombol. 

Suasananya memang sepi karena tidak musim liburan. Apa lagi penerbangan ke Simeulu terbatas sekedar tiga kali seminggu, ini pun sekedar digunakan demi kepentingan-kepentingan mendesak. Apabila bukan, orang makin menentukan jalur darat, kemudian menyeberang dari Labuhan Haji di Aceh Selatan menuju Sinabang di Simeulue.

Mengingat aksesnya yang sulit, Pulau Simeulue memang menjadi surga kepada petualang yang rindu kesunyian. Tapi jangan coba-coba berasal menuju sana juga cara blusukan, tersebut tidak akan mempan. Saya telah menghubungi Ogek, kenalan saya dalam Simeulu 2 pekan sebelumnya. Ogek menyiapkan penjemputan ke bandara dengan penyeberangan menuju pulau kecil, Siumat.

Saya dan Ogek memanfaatkan sampan nelayan kecil dan cadik dalam kedua sisinya. Mesin sembilan PK yang kami miliki mengantar ke Pulau Siumat selama 4 jam, waktu yang sungguh lama ketimbang memakai perahu besar dan mesin yang begitu juga makin besar.

Kami terupdate saja sandar pada Ulul Kaut saat matahari pagi mulai kelihatan. Nelayan pancing telah sejak subuh tadi melaut, meninggalkan anak-anak merekapun yang asik berjungkir balik di pelabuhan ini.

Arisman, kelas satu SMP memandu adik-adiknya bercengkrama dengan air laut yang jernih. Pantulan sinar matahari membakar tubuh mereka sejak bayi. Mandi pagi pada ulul kaut ialah rutinitas mereka sebelum menyiapkan diri berangkat sekolah.

"Kami akrab mandi dalam sini. Seusai ini, update bilas juga pakai baju pada rumah," katanya.


Sampan-sampan kecil lainnya mulai merapat. Merekapun yaitu segala pemetik cengkeh. Tetapi saya selalu asik serta keceriaan pagi Arisman serta adik-adik sekampungnya. Ia menaiki sampan lebih kecil tanpa lengan cadik. Sampan tersebut seolah tenggelam tetapi riak laut. Sebentar selanjutnya, sampan ini telah muncul lagi menuju seantero.

Puas tampil, anak-anak bergegas membilas tubuh mereka di pemandiam umum yang ada dekat pelabuhan minor ini. "Mandi tak perlu pakai sabun. Sabun mahal," kata Arisman singkat.

Hal sampan kecil kelihatan pada tengah. Dari trik melajunya, sampan tersebut persis ke ulul Kaut. Bang Edi, mendayung dan santai. Saya serta Ogek menunggu menerima pria ini. Rumahnya telah disediakan demi lokasi kami bermalam.

Ia memperoleh 2 ekor geurape pandak, ikan kerapu bewarna merah serta bintik-bintik biru berukuran cukup besar. "Cukup bagi bekal sampai malam nanti," jawabnya tersenyum ketika kami membantu menyandarkan sampannya.

Kami makan sambam siang tersebut. Istri Bang Edi sudah membungkus ikan kerapu pancingannya dengan daun pisang, kemudian membakarnya. Istrinya begitu juga menyiapkan ulekan sambal terasi yang pedas, ditambah juga urap pucuk pepaya yang tidak lagi pahit. Betul-betul makanan yang hebat mengurai keringat kami.

Sedangkan Bang Edi serta istrinya berbenah serta menyiapkan makan, saya membantu Arisman menjemur cengkeh. Ia sudah mengeluarkan tiga karung cengkeh yang mulai kering selepas mandi pagi tadi. Matahari pagi menghangatkan daratan sampingan di timur laut Pulau Simeulue tersebut. Saya berjanji padanya demi ikut mengangkat jemuran sore nanti.

Bermacam anak lain melakukan suatu serupa. Saya berpindah dari jemuran Arisman menuju jemuran lain. Pulau minor itu memungkinkan saya berkeliling tanpa wajib menikmati kendaraan. Saya bertemu Rizki, balita yang ikut membantu menjemur cengkeh. Anak tersebut lucu dikarenakan bedak bayi selalu berlumuran pada wajahnya, sementara ia mencintai buah cengkeh berukuran besar demi dijual, sebagian akan dijadikan bibit.

Satu-satunya gedung sekolah ialah SD-SMP seorang atap Pulau Siumat. Anak-anak selalu sibuk berseragam sekolah pada penjemuran cengkeh sebelum lonceng berbunyi.

Saya mengitari pulau tersebut selama tengah hari. Beberapa anak terlihat tidak sekolah. Berbagai alasan mereka lontarkan, ada yang menjaga rumah dengan menjaga adik saat orang tua merekapun sibuk.


Dengan aparat desa setempat, saya mendaki tanjakan berbatu. Menuju bukit sampingan yang letaknya persis dalam tengah pulau. Di puncak bukit ini, tak berada pemandangan lain kecuali pohon cengkeh dan pohon perkebunan selanjutnya mirip pisang juga kelapa.

(Syafrizaldi) Tersembunyi dalam balik semak nan tinggi, Ali yang merupakan mantan Panglima Laot di Siumat menunjukkan kima yang tergeletak di belahan tanah. Kima yaitu legenda yang berkembang di tengah seluruh kalangan pulau Siumat.

Rombongan tersebut hendak menunjukkan sesuatu. Pak Ali, mantan Panglima Laot di Siumat masuk ke semak-semak yang agak tinggi. Saya mengikutinya dari belakang. Saya terkejut saat Ali menujukkan sebuah kima besar tergeletak di permukaan tanah. Di beberapa bagian, saya juga melongok kima besar. Namun kondisinya telah pecah juga berserakan.

Untuk Ali, kima itu merupakan legenda sesunguhnya dari pulau Siumat. Dia mengisahkan nama Siumat berasal dari kata Pelumat, sebuah daerah di Aceh Selatan. Pada Pelumat, ada orang cepat bernama Lam Borek. Orang tersebut memperoleh ilmu batin yang kuat. Namun cinta Lam Borek buat Siti Leluwat, gadis di Pelumat, bertepuk sebelah tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar